EternityNews

AKTUAL FAKTUAL EDUKATIF

Bandara Tanpa Negara: Kebenaran di Morowali

eternitynews.id – Sebuah landasan terbang muncul di tengah kawasan industri PT IMIP, tak tercatat dalam peta resmi. Di sana, pesawat kargo meluncur tanpa pengawasan, sementara warga setempat masih menunggu jalan beraspal yang tak kunjung datang. Apakah ini sekadar kelalaian administratif, atau ada jaringan “bayangan” yang sengaja menutup mata negara? Berikut ulasan kritisnya.

Legalitas yang dipermainkan Bandara PT IMIP beroperasi tanpa izin IATA, ICAO, atau Kemenhub yang sah. Tanpa kehadiran Bea Cukai dan Imigrasi, setiap muatan—bahan baku nikel, barang konsumen, bahkan barang ilegal—bisa masuk‑keluar tanpa jejak. Celah itu bukan kebetulan; ia dipertahankan oleh jaringan yang menikmati “pajak tersembunyi” yang mengalir ke kantong pribadi.

Jaringan “bayangan” yang menutup mata negara
Di balik bandara terdapat struktur perusahaan “shadow” yang memecah kepemilikan menjadi anak‑anak perusahaan kecil:

  • PT IMIP – induk utama, menguasai lahan dan fasilitas industri.
  • PT X‑Air – “operator” bandara, tidak terdaftar sebagai maskapai penerbangan komersial.
  • PT Y‑Log – penyedia layanan ground handling, berafiliasi dengan pejabat daerah melalui kontrak “konsultasi”.

Model “divide‑and‑conquer” ini memudahkan penyembunyian aliran uang dan memberi ruang bagi patron‑client untuk menukar “akses bandara” dengan dukungan politik pada pemilihan.

Dampak sosial‑ekonomi: bandara untuk segelintir orang
Data BPS 2024 menunjukkan pendapatan per kapita di kecamatan sekitar bandara masih 45 % di bawah rata‑rata provinsi. Pendapatan pajak daerah dari sektor pertambangan menurun 12 % sejak bandara beroperasi, mengindikasikan kebocoran fiskal yang signifikan. Jalan desa tetap berlubang, listrik padam tiap malam, namun landasan 2.500 meter tersedia untuk pesawat kargo. Investor asing datang karena “akses logistik eksklusif”, tetapi pajak yang seharusnya masuk ke kas daerah mengalir ke rekening pribadi melalui perusahaan “shell”.

Menteri Pertahanan Syafri Syamsuddin menegaskan, “Tidak boleh ada negara di dalam negara. Bandara ini harus tunduk pada peraturan penerbangan sipil dan pengawasan kementerian.”

Anggota DPR RI sekaligus Sekjen DPP Partai Demokrat Herman Khaeron menambahkan, “Saya menuntut transparansi penuh dan audit independen. Jika ada penyimpangan, harus diproses hukum tanpa pandang bulu.”

Mengapa baru terungkap sekarang?
Tekanan publik, pernyataan resmi Menteri Pertahanan, dan desakan dari Herman Khaeron serta aktivis lain menciptakan “crack” dalam jaringan. Ketika satu mata rantai pecah, seluruh jaringan menjadi rapuh—momen yang harus dimanfaatkan untuk menuntut akuntabilitas total.

Rekomendasi tajam
1. Audit forensik independen yang melibatkan BPK, KPK, dan perwakilan masyarakat sipil.
2. Pembekuan operasional sampai audit selesai, mengingat risiko keamanan penerbangan dan potensi pencucian uang.
3. Penegakan hukum tanpa amnesti bagi pejabat yang terbukti terlibat dalam penerbitan izin “bayangan”.
4. Integrasi data antara Kemenhub, Bea Cukai, dan Imigrasi agar tidak ada lagi “bandara yang tidak terdaftar”.
5. Pengalihan dana yang seharusnya masuk ke kas daerah untuk pembangunan infrastruktur dasar di wilayah terdampak.

Ketika audit selesai dan rekomendasi ini dijalankan, barulah kita dapat menutup celah yang selama ini menjadi “landasan tanpa negara”. Dengan begitu, setiap kali pesawat lepas landas, ia tidak lagi membawa beban kepentingan pribadi, melainkan harapan bagi rakyat Morowali yang selama ini terpinggirkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *